Ilustrasi: Orang-orang mengantarkan jenazah ke kubur |
Beberapa hari ini
hujan terus-menerus. Hujan rintik-rintik, lalu menderas, dan merintik lagi. Tetap
tak mau berhenti. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Bahkan didalam ruangan
kantorpun aku tetap memakai jaket karena tak kuasa menahan dinginnya. Di tengah
suasana itulah aku mendengar kabar kematiannya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Sesunguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.
Beberapa hari sebelumnya aku bertemu
dengan adiknya yang bercerita kalau kakaknya sekarang di rumah sakit.
“Infeksi kandungan, Mbak,” jawabnya
ketika kutanyakan perihal sakit sang kakak.
“Tetapi juga karena ia mengalami
kekerasan oleh suaminya,” cerita adiknya lagi.
“Untung ada tetangga disana yang
baik hati, mau mengabarkan kemalangan kakakku. Ibu langsung menjemput kakak
setelah mendengar cerita itu,” begitu kira-kira si adik bercerita padaku
beberapa hari yang lalu.
“Setelah itu ibu langsung membawa
kakak ke rumah sakit. Kakak sudah tak bisa bangun saat itu. Sekarang, saya yang
mengasuh anaknya,” si adik terus bercerita.
Aku lebih banyak mendengar. Dalam hati
aku berniat, kapan-kapan aku harus menjenguk sang kakak. Tapi tak juga sempat
melaksanakan niat itu, kabar kematian
datang terlebih dahulu. Aku tak menyangka separah itu sakitnya. Dia masih
sangat muda, usianya baru menginjak 20 tahun.
Masya Allah! Aku langsung mengingat
wajah itu. Wajah yang aku kenal saat masih kanak-kanak. Bersama teman-temannya
yang ceria, setiap sore mengaji iqro’ di rumahku. Bahagia rasanya melihat senyum
mereka saat keroyokan jajanan kecil setelah selesai mengaji. Pernah juga aku memarahi
mereka karena ada laporan dari tetanggaku kalau mereka mengambil buah belimbing
dari pohon tetanggaku itu. Aku juga ingat betapa cerianya mereka ketika
berlatih rebana. Seperti itulah dia dan teman-temannya dahulu. Tak berbeda jauh
dengan anak-anak pada umumnya. Begitu ceria, kadang sedikit nakal, kadang juga
menangis. Tapi lebih banyak canda tawa.
Tapi aku mulai kehilangan dia dan
teman-temannya saat mereka beranjak remaja. Mengaji tak lagi menarik bagi
remaja-remaja itu. Mereka lebih senang jalan, menghabiskan waktu bersama
remaja-remaja yang lain di tempat-tempat nongkrong. Hingga suatu hari aku
mendengar kabar pernikahannya di usianya yang masih belia. Entah dengan siapa aku
juga tak pernah bertanya. Karena aku merasa itu bukan urusanku. Tapi, entahlah!
Mungkin juga aku yang terlalu tak peduli pada orang lain, tak empati dengan
orang-orang sekitarku.
Ketika aku takziyah ke rumahnya di sore hari, cerita-cerita yang
mengalirpun masih sama. Tentang sakitnya, tentang suami yang melakukan KDRT,
tentang anaknya yang belum lagi berusia satu tahun, tentang dia yang masih
sangat muda untuk pergi. Beberapa orang geram dengan perbuatan suaminya. Bahkan
kabarnya, saat di rumah sakitpun dia masih mendapat kekerasan dari suaminya
meski bukan secara fisik, tapi secara psikis.
“Di rumah sakit, suaminya malah membicarakan tentang kekasihnya yang lain,”
kata saudaranya.
Aku sendiri lebih banyak mendengarkan cerita-cerita itu. Tetapi meski
dalam diam, tetap saja ada sesak dalam dadaku.
Lalu ingatan-ingatan tentang masa
kecilnya datang begitu saja di benakku. Silih berganti. Dia yang sedang mengeja huruf arab. Dia yang bermain rebana. Dia yang bercanda dengan teman-temannya.
Bagaimana dia menjalani hidup setelah menikah? Hatiku masih juga bertanya.
Pernikahannya di usia belia. Melahirkan anak di usia muda. KDRT oleh suaminya. Ah, hidup yang sungguh rumit untuk seorang semuda itu.
Hanya do'aku, semoga dia yang telah dipanggil oleh-Nya hari ini, diampuni semua dosanya dan
diterima semua amal baiknya. Keluarga yang ditinggalkan semoga diberikan
ketabahan. Dan bagi kami semua yang mengenalnya, semoga kami bisa mengambil hikmah dari semua kejadian ini. Aamiin.
DIA YANG TELAH PERGI
Reviewed by Ummi Nadliroh
on
Desember 24, 2013
Rating:
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah memberikan komentar di blog saya. Mohon untuk memberi komentar dengan kata yang santun. Terima kasih. :)