Assalamu'alaikum, Sahabat...
Apa harapan kita untuk anak-anak? Mereka menjadi anak yang sholih, kemudian menjadi orang sukses dan tetap berbakti kepada kita orang tuanya? Mungkin begitu. Yang pasti tidak mungkin kita mengharapkan keburukan untuk anak kita.
Untuk tujuan baik itu, pastinya kita berusaha mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Kita berusaha melahap semua bacaan-bacaan tentang parenting demi mendidik anak agar menjadi manusia yang bisa dibanggakan. Dan kitapun sampai hafal di luar kepala teori-teori parenting yang telah kita kunyah-kunyah bacaannya itu. Namun seberapa banyak teori yang kita praktekkan?
Kalau saya... Entah. Saya mungkin orang yang kebanyakan teori tapi minim praktek.
Misalnya begini... Satu saat saya mengajari anak pelajaran matematika. Dia cukup kesulitan dalam pelajaran itu. Satu penjelasan dia tidak paham, saya masih bersabar. Dua kali penjelasan, saya masih mencoba bertahan. Tiga kali, lalu sampai yang kesekian kali, saya mulai tak sabar dan saya marah. Tentu anak yang menjadi obyek kemarahan saya. Meski saya bukan tipe perempuan yang marah dengan meledak-ledak, tapi marah tetaplah marah. Dan anak saya pasti merasakan auranya.
Masalahnya adalah... Secara teori saya tahu bahwa setiap anak mempunyai potensinya masing-masing. Seperti pohon kelapa yang tidak mungkin berbuah mangga, pisang, atau jambu. Anak yang mempunyai minat dan bakat di satu bidang, tak seharusnya dipaksakan untuk menguasai bidang yang lain. Tetapi ketika saya menemui kenyataan bahwa anak saya tak bisa matematika, saya marah. Padahal saya tahu, anak saya bakatnya bukan di pelajaran itu. Buktinya dia punya pelajaran lain yang menjadi favorit dan nilainya bagus di pelajaran itu.
Dan seringnya saya menyesal setelah memarahi anak. Tetapi seringkali pula saya masih mengedepankan ego saya di banyak kejadian lain, atas nama mendidik anak. Anak tak segera sholat, saya marah. Anak menumpahkan air, saya marah. Anak tak merapikan mainan, saya marah. Padahal sebenarnya saya hanya perlu sedikit bersabar. Mengajarinya perlahan sambil menancapkan kesadaran di relung hatinya, bukan memaksanya melakukan sesuatu yang mungkin dia belum mengerti maksudnya.
Di satu sisi, kadang saya tidak cukup telaten terhadap anak. Seperti cerita yang ini...
Kejadiannya waktu ketika saya melahirkan anak ketiga. Dengan kelahiran anak ketiga ini, otomatis waktu saya banyak tersita untuk memperhatikannya. Akibatnya ada si kakak kedua yang menjadi aleman, mendadak tak mau mengaji di TPQ. Dia cari perhatian saya. Dia maunya saya yang mengantar ke TPQ, tidak mau diantar ayahnya atau mbak asisten. Hiks...
Akhirnya si kakak kedua ini tidak TPQ dalam kurun waktu yang lama. Dan di kelas 1 SD ini, dia baru memulai jilid 1 lagi. Jauh di bawah pencapaian kakak pertamanya saat kelas yang sama. Sayapun menyesal karena tak cukup telaten saat kelahiran anak ketiga dulu.
Menyesal telah marah pada anak. Menyesal karena tidak telaten. Atau menyesal pada perlakuan-perlakuan yang lain, seperti terlalu membebaskannya main game, dan sebagainya. Yah, bukan sekali dua saya menyesal dengan cara saya mendampingi anak-anak saya.
Jadi, ini hanyalah penggalan cerita-cerita saya dalam mengasuh anak. Sering ada hal-hal yang saya sesalkan karena ternyata tak seindah teori-teori yang saya baca. Karena ternyata saya belum bisa menjadi orang tua yang baik sepenuhnya.
Saya dan suami tentu selalu mengevaluasi cara-cara kami dalam mengasuh anak. Yang kami sesali, kemudian berusaha kami perbaiki. Kami berharap semakin hari kami bisa semakin baik. Anak-anak berkembang, kamipun berkembang.
Dan pada akhirnya kamipun menyadari bahwa tak ada manusia yang sempurna, termasuk dalam peran sebagai orang tua. Meski begitu, kami masih punya DIA kan? Jadi meski kami tak sempurna, kami punya Yang Maha Sempurna.
Berdo'a. Ya, insya Allah kami tak meninggalkan do'a kepada-Nya untuk kebaikan anak-anak kami. Karena itulah yang kami bisa untuk menyempurnakan ketidaksempurnaan kami.
Wallahu a'lam
Wassalamu'alaikum
Ummi
Apa harapan kita untuk anak-anak? Mereka menjadi anak yang sholih, kemudian menjadi orang sukses dan tetap berbakti kepada kita orang tuanya? Mungkin begitu. Yang pasti tidak mungkin kita mengharapkan keburukan untuk anak kita.
Untuk tujuan baik itu, pastinya kita berusaha mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Kita berusaha melahap semua bacaan-bacaan tentang parenting demi mendidik anak agar menjadi manusia yang bisa dibanggakan. Dan kitapun sampai hafal di luar kepala teori-teori parenting yang telah kita kunyah-kunyah bacaannya itu. Namun seberapa banyak teori yang kita praktekkan?
Kalau saya... Entah. Saya mungkin orang yang kebanyakan teori tapi minim praktek.
Misalnya begini... Satu saat saya mengajari anak pelajaran matematika. Dia cukup kesulitan dalam pelajaran itu. Satu penjelasan dia tidak paham, saya masih bersabar. Dua kali penjelasan, saya masih mencoba bertahan. Tiga kali, lalu sampai yang kesekian kali, saya mulai tak sabar dan saya marah. Tentu anak yang menjadi obyek kemarahan saya. Meski saya bukan tipe perempuan yang marah dengan meledak-ledak, tapi marah tetaplah marah. Dan anak saya pasti merasakan auranya.
Masalahnya adalah... Secara teori saya tahu bahwa setiap anak mempunyai potensinya masing-masing. Seperti pohon kelapa yang tidak mungkin berbuah mangga, pisang, atau jambu. Anak yang mempunyai minat dan bakat di satu bidang, tak seharusnya dipaksakan untuk menguasai bidang yang lain. Tetapi ketika saya menemui kenyataan bahwa anak saya tak bisa matematika, saya marah. Padahal saya tahu, anak saya bakatnya bukan di pelajaran itu. Buktinya dia punya pelajaran lain yang menjadi favorit dan nilainya bagus di pelajaran itu.
Dan seringnya saya menyesal setelah memarahi anak. Tetapi seringkali pula saya masih mengedepankan ego saya di banyak kejadian lain, atas nama mendidik anak. Anak tak segera sholat, saya marah. Anak menumpahkan air, saya marah. Anak tak merapikan mainan, saya marah. Padahal sebenarnya saya hanya perlu sedikit bersabar. Mengajarinya perlahan sambil menancapkan kesadaran di relung hatinya, bukan memaksanya melakukan sesuatu yang mungkin dia belum mengerti maksudnya.
Di satu sisi, kadang saya tidak cukup telaten terhadap anak. Seperti cerita yang ini...
Kejadiannya waktu ketika saya melahirkan anak ketiga. Dengan kelahiran anak ketiga ini, otomatis waktu saya banyak tersita untuk memperhatikannya. Akibatnya ada si kakak kedua yang menjadi aleman, mendadak tak mau mengaji di TPQ. Dia cari perhatian saya. Dia maunya saya yang mengantar ke TPQ, tidak mau diantar ayahnya atau mbak asisten. Hiks...
Akhirnya si kakak kedua ini tidak TPQ dalam kurun waktu yang lama. Dan di kelas 1 SD ini, dia baru memulai jilid 1 lagi. Jauh di bawah pencapaian kakak pertamanya saat kelas yang sama. Sayapun menyesal karena tak cukup telaten saat kelahiran anak ketiga dulu.
Menyesal telah marah pada anak. Menyesal karena tidak telaten. Atau menyesal pada perlakuan-perlakuan yang lain, seperti terlalu membebaskannya main game, dan sebagainya. Yah, bukan sekali dua saya menyesal dengan cara saya mendampingi anak-anak saya.
Jadi, ini hanyalah penggalan cerita-cerita saya dalam mengasuh anak. Sering ada hal-hal yang saya sesalkan karena ternyata tak seindah teori-teori yang saya baca. Karena ternyata saya belum bisa menjadi orang tua yang baik sepenuhnya.
Saya dan suami tentu selalu mengevaluasi cara-cara kami dalam mengasuh anak. Yang kami sesali, kemudian berusaha kami perbaiki. Kami berharap semakin hari kami bisa semakin baik. Anak-anak berkembang, kamipun berkembang.
Dan pada akhirnya kamipun menyadari bahwa tak ada manusia yang sempurna, termasuk dalam peran sebagai orang tua. Meski begitu, kami masih punya DIA kan? Jadi meski kami tak sempurna, kami punya Yang Maha Sempurna.
Berdo'a. Ya, insya Allah kami tak meninggalkan do'a kepada-Nya untuk kebaikan anak-anak kami. Karena itulah yang kami bisa untuk menyempurnakan ketidaksempurnaan kami.
Wallahu a'lam
Wassalamu'alaikum
Ummi
MENYESAL DENGAN PERLAKUAN TERHADAP ANAK?
Reviewed by Ummi Nadliroh
on
Juli 31, 2016
Rating:
Kadang kalau kita capek atau sedang ada masalah yang jadi korban adalah anak, jadi cuek terhadp anak. Saya juga sering begitu mbak Ummi, tapi seperti mbak Ummi juga, kemudian berusaha membayar penyesalan dengan lebih dekat kepada anak :)
BalasHapusSemoga kita bisa mendidik anak2 kita menjadi anak2 yang sholih/sholihah ya, Mbak. :)
HapusJadi ingin memeluk anak-anak di rumah...
BalasHapusSaya juga... :)
HapusSaya juga ga lepas dari emosi jika anak sudah nangis ga jelas pengen apa, tapi sekarang saya sedang coba gaya pendekatan yang berbeda mba mulai terlihat perubahannya yang tadinya serba ditolong saya sekrang uda mandiri.
BalasHapusYang sabar y mba, tetap semangat ^^
Terima kasih semangatnya. :)
HapusWah, jangankan anak-anak. Aku aja yang sudah gede gini dikasih keponakan langsung rewel, hehehe :p Thanks untuk sharingnya, semoga kita semua bisa menjadi orangtua yang baik (---well, suatu hari nanti kalau aku) :)
BalasHapusSemoga ya... :)
HapusSeringkali khawatir juga, yg kita kira baik (krn niatnya memang baik), belum tentu diterima anak dg baik. Suka menerka-nerka perasaan mereka sebenarnya. Apalagi kalau besarnya nanti jadi blogger trus aku ditulis sbg mamah yg galak. Hiks cedih
BalasHapusHihi... Semoga anaknya Mak Lusi jadi blogger yang curhatnya cerita yang baik2 saja. :)
HapusSaya suka merasa begini. Kadang nggak bisa nahan emosi terutama kalau lagi lelah esp karena kehamilan kedua & apalagi kalau suami sedang dinas luar. Pas anak tidur suka meluk-meluk sambil menyesal kok tadi nggak bisa sabar huhu.
BalasHapusKita memang begitu ya... Suka menyesal kalau sudah marah sama anak. Sekarang saya berusaha menguranginya.
Hapus