Beberapa waktu lalu, keluarga kami disibukkan dengan persiapan pernikahan adik bungsu. Salah satu yang kami persiapkan adalah urusan administrasi yang harus dipenuhi untuk mendaftarkan pernikahan. Nah, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah Surat Keterangan Wali Nikah dari desa/kelurahan tempat tinggal wali nikah.
Kebetulan wali nikah adik kami adalah putra dari pakdhe kami dari pihak ayah (sepupu). Pada waktu itu, perangkat dari desa setempat malah mengatakan kalau tidak mau memberikan surat keterangan itu dengan alasan jarak persaudaraan terlalu jauh. Dan menyarankan status sepupu kami itu ditulis paman saja, agar bisa jadi wali. Kami melongo. Sepupu menjadi paman? Ini kan tentang sahnya pernikahan. Kalau sekedar paman, lalu langsung bisa wali nikah, kami juga punya paman yang merupakan adik-adik ibu. Kami juga masih punya paman yang merupakan adik ayah seibu. Tetapi tentang wali nikah ini kan ada aturannya.
Dengan berbagai argumen, bahwa kami sudah menanyakan permasalahan wali nikah ini dengan kyai dan juga sudah konsultasi dengan KUA, akhirnya perangkat desa itu mau membuatkan Surat Keterangan Wali Nikah, meski dengan setengah hati. Tetapi dengan kejadian itu, kami jadi menyadari bahwa masih ada (mungkin banyak) orang yang tidak memahami perihal wali nikah ini.
Jadi, menurut Islam, dalam pernikahan ada yang disebut rukun nikah. Rukun nikah terdiri dari: 1) mempelai lelaki (calon suami), 2) mempelai perempuan (calon istri), 3) wali nikah, 4) dua orang saksi laki-laki (sebagai saksi nikah), 5) ijab qabul (akad nikah).
Kelima hal tersebut harus ada agar pernikahan menjadi sah. Masing-masing rukun nikah juga ada syarat sahnya. Kalau syarat sah wali nikah diantaranya: Islam, laki-laki, baligh, tidak dalam paksaan, tidak dalam ihrom haji/umroh, tidak gila, tidak terlalu tua, merdeka, dan tidak ditahan kuasanya dalam membelanjakan hartanya.
Dan berkaitan dengan siapa yang bisa menjadi wali nikah, karena kami sudah tidak mempunyai ayah, kamipun menelusuri siapa saja yang bisa menjadi wali nikah adik kami. Kebetulan salah satu paman kami (adik ibu) adalah pegawai KUA. Beliaulah yang pertama kali mengurutkan nasab untuk keperluan wali nikah adik kami.
Jadi, dalam hukum Islam memang ada urutan nasab yang bisa menjadi wali nikah. Jika urutan pertama tidak ada, wali turun ke urutan selanjutnya. Dalam hal yang kami alami, sesuai urutan wali nikah, kami mengurutkannya seperti dibawah ini:
- Ayah kandung ---> telah meninggal.
- Kakek (dari garis ayah dan seterusnya ke atas dalam garis laki-laki) ---> telah meninggal semua.
- Saudara laki-laki sekandung ---> kami 3 bersaudara perempuan (tidak bisa menjadi wali nikah).
- Saudara laki-laki seayah ---> tidak ada.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ---> ingat, kami tidak punya saudara laki-laki.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah ---> tidak ada.
- Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ---> tidak ada.
- Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah ---> tidak ada.
- Saudara laki-laki ayah sekandung (paman sekandung dari ayah) ---> telah meninggal.
- Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah) ---> tidak ada.
- Anak laki-laki dari paman sekandung ayah ---> disini posisi sepupu kami itu.
Karena menikah adalah mitsaqon gholidzo (perjanjian Allah yang berat), tentu tidak bisa sembarangan. Ada hukum dan aturan yang harus dipenuhi agar pernikahan sah. Karena jika pernikahan tidak sah, tentu akan berakibat pada hukum hubungan laki-laki dan perempuan. Wallahu a'lam bishowab.
TENTANG WALI NIKAH
Reviewed by Ummi Nadliroh
on
Desember 30, 2015
Rating:
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah memberikan komentar di blog saya. Mohon untuk memberi komentar dengan kata yang santun. Terima kasih. :)