TENTANG SUDUT PANDANG


Masih ingat cerita tentang tiga orang buta yang mendiskripsikan gajah? Mereka ribut berdebat, dan masing-masing merasa benar. Cerita tersebut ada berbagai versi. Ini salah satu versinya.

Ada tiga orang buta yang bersahabat. Suatu hari mereka mendengar cerita tentang hewan yang bernama gajah. Merekapun penasaran. Yang mereka dengar, gajah itu hewan yang gagah perkasa. Karena begitu ingin tahunya, mereka meminta bantuan teman mereka yang tidak buta untuk mengantarkan mereka melihat gajah.

Singkat cerita, sampailah mereka ke tempat sang gajah berada. Ketiga orang tersebutpun menyentuh sang gajah pada bagian tubuh yang berbeda. Mereka tersenyum setelah menyentuh gajah, karena merasa sudah tahu seperti apa yang namanya gajah itu.

Orang buta pertama menyentuh belalai gajah dan mengatakan, "Gajah itu bulat panjang dan mirip dengan ular". 

Orang buta kedua menyentuh telinga gajah dan menyatakan, "Gajah itu tipis dan lebar seperti kipas."

Lalu, orang buta ketiga menyentuh kaki gajah dan mengatakan, "Gajah itu tegak dan kuat, seperti tiang."

Setelah itu mereka saling bercerita tentang pendapat mereka. Karena yang mereka sentuh adalah bagian tubuh yang berbeda, tentu saja cara mendeskripsikan bentuk gajahpun berbeda.

Dengan perbedaan itu, apakah yang mereka katakan salah? Tentu saja tidak. Tetapi mereka hanya mendeskripsikan berdasarkan bagian-bagian tubuh gajah yang mereka sentuh. Bukan keseluruhan tubuh gajah.

Dalam kondisi seperti itu, seringkali dibutuhkan orang keempat yang bisa obyektif dan menjadi penengah untuk menyelesaikan persoalan. Kalau dalam cerita diatas, tentunya orang tersebut adalah orang yang tidak buta, yang bisa melihat keseluruhan tubuh gajah. Sehingga ia bisa meluruskan pendapat ketiga orang buta tadi.

Dalam kehidupan sehari-haripun, seringkali kita menemukan permasalahan serupa. Misalnya...

Satu saat saya mengikuti acara sosialisasi Dana Desa. Yang diundang adalah dari dinas/instansi yang terkait, kami yang di kecamatan, dan tentu saja desa yang akan mendapatkan kucuran dana tersebut. Kami semua serius mendengarkan paparan yang disampaikan narasumber.

Namun ketika satu waktu saya dan teman-teman yang sama-sama mengikuti acara tersebut bertemu dan berdiskusi tentang sosialisasi itu, ternyata kami punya pendapat yang berbeda lho... Padahal kami mendengarkan acara yang sama, pada waktu dan tempat yang sama, juga narasumber yang sama. Lalu kenapa kami bisa mempunyai pendapat yang berbeda?

Contoh perbedaan itu seperti... Saya yang melihat Dana Desa dari perspektif infrastruktur karena saya berlatar pendidikan teknik sipil. Teman saya melihat dari sudut pandang hukum, karena dia lama berkecimpung di bidang hukum. Teman yang lain melihat dari sudut pandang pemerintahan desa. Dan ada sudut pandang lain juga.  

Sudut pandang. Saya kira, kami semua melihat sosialisasi Dana Desa itu dari sudut pandang yang berbeda. Dan itu bisa saja dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan kami, pengalaman kami, pengetahun dan bahan bacaan kami, dinas/instansi asal kami, atau hal lain. Dan mungkin ketika acara sosialisasi itu, kami hanya fokus pada minat kami sendiri-sendiri. Sehingga yang nyantol di kepalapun hal yang kami minati itu.

Ada juga cerita di masyarakat...

Di sebuah desa, ibu-ibunya aktif mengadakan perkumpulan pengajian. Ada yang seminggu sekali, selapan (36) hari sekali, ada juga yang berdasarkan berdasarkan pasaran (pon, kliwon, pahing, wage). Dan pengajian tersebut dilaksanakan dengan anjangsana dari satu rumah ke rumah lain.  

Bagaimana pandangan orang-orang terhadap pengajian tersebut?

Dari sudut pandang pemuka agama, hal tersebut tentu bagus karena syiar agama bisa lebih berkembang. Sedangkan orang yang berkecukupan menanggapinya baik adanya pengajian itu, karena ia bisa mengaji sekaligus menghormati tamu dengan berbagai hidangan yang ia siapkan dalam rangka pengajian itu.

Tetapi ada juga yang mengeluh, karena dengan adanya pengajian-pengajian itu ada biaya yang harus ia keluarkan.  Padahal ia bukan orang yang berkelebihan harta. Dan untuk menolak ditempati pengajian, iapun tak bisa. Karena ia takut pandangan masyarakat terhadap dirinya. Sedangkan kebiasaan orang-orang di desa itu, akan merasa malu jika hidangan yang ia sajikan tidak lebih baik atau minimal sama dengan orang-orang yang rumahnya ditempati sebelumnya. Karena itulah kadang seseorang bisa mengeluarkan biaya hidangan diluar batas kemampuannya.

Untuk hal seperti ini, pastilah dibutuhkan solusi bagaimana sebuah pengajian yang merupakan kegiatan baik itu bisa tetap dilaksanakan, sekaligus tidak memberatkan jamaahnya. Misalnya membuat batas maksimal makanan yang dihidangkan. Atau solusi yang lain?

Dan begitulah. Setiap orang bisa saja mempunyai sudut pandang yang berbeda atas persoalan yang sama. Apakah kemudian pendapat saya benar dan pendapatmu salah? Atau sebaliknya. Belum tentu seperti itu adanya. Saling bicara, saling diskusi, saling membuka hati, bisa jadi membuat kita bisa melihat dalam perspektif yang lebih luas. Banyak hal yang bisa dikompromikan, banyak juga yang bisa dicarikan solusi bersama. 

Kalau sudah ada saling pengertian... Ah, damailah dunia. :D 
TENTANG SUDUT PANDANG TENTANG SUDUT PANDANG Reviewed by Ummi Nadliroh on Maret 23, 2016 Rating: 5

14 komentar:

  1. Betul, Mbak. Intinya, mah, kita mesti selalu jadi orang yang open minded. Biar gak baperan, kalo beda pendapat dikit terus marah-marahan. Hehehe.

    BalasHapus
  2. beda pandangemang tergantung cara seseorang menilai dari sudut pandang mana. sebagi muslim, saya sih menjadikan syariat Islam sebagai sudut pandang saya dalam menilai dan memaknai sesuatu. Tapi kalau ada yang berbeda, tidak pula buru-buru baper atau menghujat. Renungkan dulu, bisa jadi ada pemahaman yang saya keliru,atau yang berbeda pandang dengan kita belum sampai ilmunya ke situ.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, Mbak. Sbg Muslim kita mmg punya pedoman yg menjadi pegangan. Tp kadang jg ada penafsiran yg berbeda dr ulama2 kita. Yg penting saat kita mengikuti satu ulama, tdk lantas menyalah2kan pendapat yg lain. Krn saat ulama berpendapat, pasti sdh melihat dalil2 yg dijadikan pegangan. :)

      Hapus
  3. Perbedaan pandangan sebenarnya tidak apa ya mbak Ummi karena kita punya pendapat berbeda dan alasan yang kuat terhadap suatu masalah, yang penting kita mau berkompromi untuk menemukan kata sepakat. Seperti misalnya ada sebuah bidang dengan banyak garis yang berseliweran pasti ada satu titik pertemuan yang menghubungkan garis-garis itu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, perumpamaannya keren Mbak Anjar. Dan kita harus menemukan titik temunya ya, Mbak...

      Hapus
  4. Contoh "pengajian keliling" sangat mengena umm .. :)

    Jangan sampai kegiatan mendulang pahala tapi yg ada rasa terbebani dan "rikuh" pada manusia.

    Bisa dg penunjukan tempat umum misal di aula balai desa. Namun jika (sesekali) ada yg ingin bersedia menyediakan tempat ya silakan saja.

    Semoga kita dianugerahkan oleh Allah akhlak yang mulia, dibuka pintu ilmu yang bermanfaat dan diberi petunjuk untuk "menghargai" setiap perbedaan (yang masih bisa ditolerir).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi di desa, Mbak. Masih kental ewuh pakewuhnya. Ttg pengajian itu, memang ada teman yg cerita.

      Ya, smg Allah selalu memberi petunjuk kepada kita.

      Hapus
  5. Betul Mbak, sudut pandang dipengaruhi latar belakan dan pengalaman kita. Ngga jauh-jauh, orang bilang orang kalau urus sesuatu di kantor-kantor pemerintahan sulit harus ada uang pelicin. Tapi saya yang belum pernah merasakannya, dan mengurus sendiri juga gampang, pasti akan bilang ngga ah, ngga seperti itu. Buktinya saya ngga dimintain macem2.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener, Mbak. Positive thinking/husnudzon biasanya mempengaruhi langkah kita. Kalau kita sudah ragu tanpa pelicin, akhirnya malah kita ketakutan sendiri. Jangan2 kalau gak pakai pelicin urusanku gak lancar, begitu kekhawatiran kita.

      Terima kasih sudah berbagi pendapat. :)

      Hapus
  6. Sebenarnya emang beda pemikiran, beda pula sudut pandang. Tapi itulah warna kehidupan. :D Kalo semua sama, gak akan ada ramenya. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggih, Mbak. Perbedaan kan rahmat ya, Mbak... :)

      Hapus
  7. Perbedaan pandangan dan pikiran kalau disikapi secara dewasa dan bijaksana, pasti akan indah, ya, Mbak; bisa saling melengkapi dan menyempurnakan. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Indah sekali kalau bisa seperti itu. Semoga suatu saat bisa tercipta masyarakat yg saling pengertian dalam menghadapi perbedaan, ya... :)

      Hapus

Terima kasih telah memberikan komentar di blog saya. Mohon untuk memberi komentar dengan kata yang santun. Terima kasih. :)

Diberdayakan oleh Blogger.