Assalamu'alaikum, Sahabat...
Tulisan saya ini adalah tugas 4 Kelas KMO.
Pemateri : Ernawatililys.
__________________________________________________________________________________
“Saya pamit ke keluarga saya. Kalau saya mati
menangani ini, tolong diikhlaskan. Tidak boleh ada keluarga saya nuntut atas
kematian saya.”[1]
Itu adalah satu penggalan episode sejarah seorang
wanita. Siapa yang tak kenal wanita pemberani itu? Berjuta orang pasti
menyaksikan saat ia mengucapkan kalimat itu ketika diwawancara Najwa Shihab di
Mata Najwa. Ia tahu benar resiko yang dihadapinya sebagai pembuat kebijakan.
Resiko yang bisa berarti nyawa.
Saat wawancara, ia bercerita tentang
pertemuannya dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) berusia 60 tahun yang
mempunyai pelanggan anak-anak usia SD dan SMP. Ia yang begitu gagah saat marah
kepada rekanan yang tak membuat bangunan pasar seperti perencanaan. Ia yang tak
segan mengatur lalu lintas sendiri saat ada kemacetan. Ia, wanita kuat itu, menangis.
Pasti hatinya begitu teriris ketika tahu ada nenek-nenek yang dalam keadaan
normal seharusnya mulai memperbanyak ibadah sebagai bekal menghadap-Nya, tetapi
masih menjual jasa seks dengan bayaran beberapa ribu saja. Lebih
menyedihkannya, anak SD dan SMP yang menjadi pelanggannya. Usia yang tak
seharusnya sudah mengenal hubungan seks.
Satu peristiwa itu dan disusul peristiwa
lainnya juga, ia membulatkan tekad untuk menuntaskan permasalahan seks
komersial di Kota Surabaya. Ia akan menutup semua lokalisasi prostitusi di Kota
Surabaya, termasuk Dolly yang terkenal itu. Ia ingin memuliakan wanita, ia
ingin menyelamatkan anak-anak. Karena ia tahu jabatannya adalah amanah, dan ia
akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir.
Insya Allah kita semua mengenal wanita kuat
dan pemberani itu, yang sekaligus juga tak kehilangan sifat lembut seorang
wanita. Wanita itu adalah Tri Rismaharini, Walikota Surabaya periode 2010 –
2015. Yang kemudian terpilih lagi untuk periode 2016 – 2021. Lebih dari 80%
warga Kota Surabaya memilihnya lagi. Ia menang telak, menandakan masyarakat mencintainya
dan percaya padanya.
Dalam gambaran yang lain, kita pernah mengenal
sosok Ibu Negara Ainun Habibi. Seorang wanita anggun lulusan kedokteran Universitas
Indonesia (UI). Setelah lulus sebagai dokter di tahun 1961, ia sempat bekerja
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, di bagian perawatan anak-anak.
Satu tahun setelahnya, yaitu di bulan Mei 1962,
ia menikah dengan B.J. Habibie. Saat itulah ia meninggalkan pekerjaannya dan
mengikuti suaminya ke Jerman. Ia memilih menjadi ibu rumah tangga setelah
menikah. Mungkin sebagian kita tak rela setelah sekolah tinggi dan mendapat
gelar, kemudian menjadi “ibu rumah tangga saja”.
Tetapi Ainun Habibie menyatakan, “Mengapa
saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya
bekerja waktu itu. Namun saya pikir, buat apa uang tambahan dan kepuasan batin
yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat
pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri kehilangan kedekatan
pada anak sendiri? Apa artinya ketambahan uang dan kepuasan profesional jika
akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk sendiri
pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu
bapak, seimbangkah orangtua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi
tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup
pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu.”[2]
Meski memilih menjadi ibu rumah tangga, tak
berarti Ainun hanya berdiam diri. Ia aktif dalam bidang sosial. Ia pernah
menjadi Ketua Balai Bina Kerta Raharja/BBKR yang merupakan wadah pendidikan dan
pelatihan untuk menampung gelandangan dan pengemis. Ia juga pernah menjadi
Ketua Umum Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI-Bank Mata).
Juga pernah menjadi Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat ORBIT atau Yayasan Amal
Abadi Beasiswa Orbit.
Dan ia tak melupakan tugasnya sebagai ibu dan
istri. Mempunyai suami yang seorang enginer pesawat terbang, ia tetap aktif
mendampingi dan memberi dukungan untuk suami. B.J. Habibie menceritakan
bagaimana Ainun berhemat mengatur keuangan selama berada di Jerman karena
kondisi keuangan yang tipis saat itu. Ia membuat menu yang murah sekaligus
sehat, ia juga menjahit sendiri baju untuk anaknya, ia juga selalu memeriksa
kondisi kesehatan B.J. Habibie sendiri. Pun ketika B.J. Habibie telah menjadi
pejabat negara, Ainun selalu mendukung dan menjadi teman diskusi bagi suaminya.
Berbagai dukungan yang diberikan itulah, maka tak heran Habibie merasa sangat
kehilangan ketika Ainun pergi untuk selamanya.
Seperti itulah gambaran wanita masa kini yang
eksistensinya sama-sama diakui, meski keduanya memilih jalan yang berbeda. Mereka
ada dan mereka diakui dengan kapasitasnya masing-masing.
Tentu saja, ada bermilyar wanita lain di dunia
ini. Dan banyak juga yang menginspirasi dengan prestasi-prestasinya. Wanita patut
bersyukur hidup di masa sekarang ini, dimana wanita bisa memilih apa yang ingin
dilakukan. Karena jika kita menengok kembali ke belakang, kita akan menjumpai wanita
masih harus berjuang untuk sebuah pengakuan.
Di masa keemasan Yunani Kuno, perlakuan terhadap
wanita sangat memprihatinkan. Wanita-wanita dari kaum elite dikurung di dalam
istana, tak ada kesempatan keluar istana. Sedangkan wanita dari kalangan bawah
diperjualbelikan seperti barang. Para wanita itu tak mempunyai hak sipil dan
hak waris sama sekali. Sekalinya mereka diberikan kebebasan, mereka justru terjebak
dalam prostitusi yang dilegalkan. Prostitusi masa itu bukanlah hal buruk dan
dilakukan secara terbuka.
Pada abad ke-4 Sebelum Masehi,
Pseudo-Demosthenes pernah menyatakan di depan majelis warga negara, “Kita
harus memiliki pelacur untuk kesenangan, selir untuk memenuhi kebutuhan kita
sehari-hari, dan pasangan kita untuk memberi kita anak-anak yang sah dan
menjadi penjaga setia rumah kita.”[3]
Begitupun masa peradaban Romawi. Wanita yang
masih gadis berada dalam kekuasaan ayahnya. Sedangkan yang telah menikah berada
dalam kekuasaan suaminya. Dan yang dimaksud kekuasaan itu mencakup kewenangan
untuk menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Menyedihkan sekali.
Di Tanah Arab masa sebelum datangnya Islam
atau masa jahiliyyah, mereka menganggap aib jika mempunyai anak berjenis
kelamin wanita. Mereka bahkan tak segan mengubur hidup-hidup anak itu.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Surah An-Nahl ayat 58 – 59, “Dan bila
salah seorang dari mereka diberitakan dengan kelahiran anak wanita, berubah
kecewalah wajahnya dan dia dalam keadaan marah. Dia berusaha menyembunyikan
dari masyarakatnya apa yang diberitakan kepadanya. Apakah dibiarkan hidup dalam
keadaan hina atau dia kubur. Alangkah jahatnya apa yang mereka hukumi.”
Di Inggris hingga tahun 1800-an pemerintahnya
masih mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Wanita juga belum mempunyai
hak kepemilikan dan hak menuntut di pangadilan. Seperti itulah terkungkungnya
wanita saat itu.
Bagaimana di Indonesia?
Bersambung....
[1] Petikan wawancara Tri Rismaharini di Mata
Najwa pada tanggal 12 Pebruari 2014. Sampai saat ini wawancara tersebut masih
bisa dilihat di Youtube.
[2] Bacharuddin Jusuf Habibie, Habibie dan
Ainun, PT. THC Mandiri, 2010, 39.
[3] https:/id.m.wikipedia.org/wiki/Prostitusi_di_Yunani_kuno.
TENTANG WANITA
Reviewed by Ummi Nadliroh
on
Juni 10, 2016
Rating:
Zaman dulu wanita kaya serasa burung dalm sangkar emas
BalasHapusTapi yang kaum papa dijadikan budak ya mb sungguh menyedihkan ketika tahu sejarahnya
Bersyukur ya Mbak, kita yg hidup di masa sekarang.
HapusAih, terima kasih lho kunjungannya...
Ada beberapa pandangan berbeda tentang wanita tergantung siapa yang melihatnya ya, mbak Ummi. Ada yang mengganggap hina, tidak berguna namun ada juga yang memuliakannya.
BalasHapusKita sebagai wanita harus berjuang mengangkat harkat dan martabat tanpa melanggar norma-norma agama ya mbak :)
Bener, Mbak... :)
HapusYang di Romawi bikin bulu kuduk merinding
BalasHapusDan kita jadi bersyukur hidup di jaman ini...
Hapus